Kecamatan Entikong, Sanggau,
Kalimantan Barat - Indonesia
- Kecamatan Entikong
Entikong adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Sanggau , Kalimantan Barat - Indonesia. Ibu kota Kecamatan Entikong berada di Desa Entikong . Kecamatan Entikong mempunyai luas 506,89 km2 dan secara administratif Kecamatan Entikong terdiri dari 5 desa, 18 dusun, jumlah penduduknya 13.346 jiwa, kepadatannya 26jiwa/km². Desa Entikong adalah desa yang sangat dekat dengan perbatasan Indonesia - Malaysia khususnya kota Khucink, Serawak - Malaysia . Selain dengan Malaysia, Entikong juga berbatasan dengan negara Brunei Darussalam. Mungkin tidak banyak yang tahu tentang desa ini, karena masyarakatnya dan kehidupan mereka yang jauh dari ibukota .
Entikong memiliki jalur perbatasan darat dengan negara Malaysia khususnya serawak sehingga jalur darat sering disebut jalur sutera karena bisa dilewati langsung oleh bus baik dari Indonesia maupun dari Malaysia tanpa harus menyebari sungai maupun laut, oleh sebab itu banyak TKI yang berasal dari Jawa, Sumatera menggunakan jalur perbatasan Entikong.
Banyak masyarakat disini kecewa dengan pemerintah Indonesia, bahkan tidak sedikit diantara mereka yang tidak mengenal Indonesia, Rupiah, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan Presiden mereka di Indonesia . Masyarakat Entikong lebih mengenal Ringgit, Raja Malaysia dan produk-produk Malaysia. Tetapi ada beberapa orang juga yang mengenal Indonesia dan mereka tetap setia dengan sang merah putih, sebut saja salah satunya adalah Ibu Martini, guru Sekolah Dasar di desa Entikong, dia selalu mengibarkan bendera merah putih selama 24 jam, dan selalu memberitahu anak didiknya bahwa kita ini bangsa Indonesia , setia pada pancasila dan UUD 1945. Ibu Martini adalah multi talent disini, selain menjadi satu-satunya guru dan mengajar 3 kelas sekaligus di SD tersebut, ia juga menjabat sebagai kepala sekolah dan pesuruh di desa tersebut . SD disana pun sangat memprihatinkan, papan tulisnya yang bolong,lantai-lantai yang rusak, dan fasilitas yang sangat minim disana. Belum lagi jika anak-anak disana ingin mendapat pendidikan yang lebih tinggi dan memiliki fasilitas yang baik, mereka harus berjalan selama 6 – 8 jam setiap harinya, ya begitulah Entikong. Jika kita lihat sejenak sangat berbeda dengan kehidupan di kota – kota besar seperti Jakarta yang pergi ke sekolah hanya membutuhkan 5 - 10 menit saja sudah sampai dengan fasilitas yang sangat memadai. Sedangkan murid-murid di Entikong bersekolah dengan seragam seadanya , buku seadanya dan memakai sandal jepit, bahkan banyak juga yang tidak memakai alas kaki. Walaupun begitu, mereka dapat menikmati hidup dan tidak mengeluh.
Selain Ibu Guru yang sangat luar biasa, disana juga ada jajaran tentara yang menjadi guru bantu sekaligus menjaga perbatasan dengan gagah berani, alhasil para muridnya pun dididik ala militer. Selain itu ada pula seorang mantri yang berkeliling desa untuk mengobati pasiennya, baginya masyarakat harus merasa diperhatikan oleh pemerintah, mereka harus tahu kalau pemerintah Indonesia itu ada untuk mereka. Pak Mantri ini berkeliling dengan menggunakan sampan dari desa ke desa. Banyak masyarakat di Entikong sangat senang dengan kedatangannya, karena mereka merasa Indonesia masih memperhatikan nasib mereka. Mantri ini perlu berhari-hari untuk berkeliling dan memberi obat kepada masyarakat di Entikong, karena kadang terhadang oleh alat transportasi dan cuaca.
Masyarakat di Entikong mayoritas adalah suku Dayak bidayuh atau masyarakat dayak yang biasanya tinggal di pinggir sungai. Ternyata tidak sedikit masyarakat Entikong yang ingin dekat dengan Indonesia, diperhatikan dan diberikan fasilitas yang sama halnya dengan desa lain di Indonesia .
1. Suku
Mayoritas suku di Kecamatan Entikong adalah:
- Dayak
- Melayu
- Jawa
- Batak
- Padang
- lain-lain
2. Agama
Mayoritas memeluk agama Kristen Katolik, Kristen Protestan, Islam dan Konghuchu.
3. Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk adalah petani padi,sahang (Lada),kakao,Karet dan sebagaian adalah tambang emas secara tradisional.
- Kekerabatan Budaya yang erat antara Masyarakat Entikong dengan Malaysia
Hubungan keluarga itu diikat dalam berbagai bentuk, di antaranya perkawinan antara warga yang berbeda status kewarganegaraan dan hubungan lapangan pekerjaan. Hubungan antara warga perbatasan Entikong dengan warga perbatasan Malaysia sangat baik, karena tidak saja terkait persoalan ekonomi, dalam hal mencari lapangan pekerjaan ke negri jiran, tetapi juga karena pertalian persaudaraan yang masih ada. Adat dan istiadat sama, demikian juga dengan bahasa. “Bahkan tak sedikit diikat dengan pertalian perkawinan”.
Keluar masuknya orang dan barang melalui “jalan tikus” atau setapak di kawasan perbatasan, bukan hal yang baru. Maksudnya, masalah itu tidak perlu dipersoalkan oleh pemerintah. Tetapi tinggal bagaimana pemerintah membina warga di kawasan perbatasan agar tidak luntur rasa nasionalismenya.
Walaupun semua warga tahu, jika berbicara soal rasa nasionalisme maka tidak perlu diragukan bagaimana tingginya rasa nasionalisme warga perbatasan, misalnya saat pengalaman menumpas gerakan PGRS/Paraku di perbatasan. Tetapi rasa nasionalisme itu bisa saja luntur, jika mereka secara terus menerus dan bertahun-tahun, tidak mendapat perhatian pemerintah RIi.
Itu bisa terjadi, menurutnya, karena sudah 65 Tahun RI merdeka, warga Indonesia yang tinggal di kawasan perbatasan belum menikmati “indahnya kemerdekaan”, seperti halnya saudara-saudara mereka yang tinggal di negera tetangga. Untuk itu, jika pemerintah tidak mau kehilangan kawasan perbatasan, mesti memperhatikan secara serius pembangunan di perbatasan.
Dirinya mengingatkan, banyak hal yang sudah dikuasai negara Malaysia di kawasan perbatasan, secara ekonomi 90% barang produksi Malaysia. Begitu pula bagi masyarakat yang mencari pekerjaan dan menjual hasil pertanian juga ke pasar negara Malaysia. Sedangkan informasi, baik televisi, radio maupun lainnya, aksesnya juga ke Malaysia. Artinya, warga perbatasan cenderung lebih kenal dengan negara tetangga, ketimbang negaranya sendiri. Imran mengatakan, masalah itu bisa terjadi karena kurangnya perhatian pemerintah dalam berbagai hal di kawasan perbatasan. Sehingga, membuat masyarakat jauh tertinggal dan terisolir. Menurutnya, jika melihat persoalan itu, kawasan perbatasan yang disebut sebagai wajah NKRI, mesti segera dibangun. Perbedaan antara warga Indonesia dengan warga Malaysia sangat kentara, ibarat siang dan malam. Sementara adat istiadat, hubungan darah dan persaudaraannya masih sangat kental. Sementara Camat Entikong Ignatius Irianti menjelaskan, tidak menutup kemungkinan akan terjadi krisis kepercayaan dari masyarakat yang ada di tapal batas Indonesia – Malaysia, apabila pemerintah pusat tidak mencurahkan perhatian yang serius terhadap permasalahan yang terjadi. Dikatakannya, selaku kepala wilayah di Kecamatan Entikong, sering memberikan masukan maupun saran kepada pejabat yang melakukan kunjungan ke tapal batas. Bahkan beberapa waktu lalu, dirinya menjelaskan permasalahan yang ada di perbatasan kepada Komisi I DPR RI, agar permasalahan perbatasan bisa dicarikan solusinya. Baik dari segi peningkatan infrastruktur, ekonomi, pertahananan maupun sosial budaya. Kita harapkan apa yang telah dibicarakan dengan pejabat pusat bisa membawa angin segar bagi daerah perbatasan. Untuk diketahui, pemerintah membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan sebagai solusi atas kompleksitas dan tantangan yang dihadapi. Badan yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri ini mengurus tidak hanya garis batas, tetapi juga dengan kawasannya.
Bagus Kembangkan
BalasHapus