Jumat, 16 Mei 2014

Menyesal Karna Salah Paham

Setelah beberapa bulan yang lalu suatu masalah merenggangkan hubungan Asta dengan Gia, kini sampai sekarang mereka tak lagi terlihat dekat. Malah mereka lebih terlihat seperti musuh, jika bertemu atau berpapasan tak pernah ada senyum apalagi sapa. Seharusnya, jika cinta berakhir pertemanan adalah sebuah pelarian untuk tetap saling berhubungan, bukan malah menjauh dan menjadi musuh.

Pagi itu Asta baru saja tiba di kampus dengan gayanya yang keren abis, namun ada yang membuat teman-teman merasa kaget dengan kedatangannya pagi ini. Seorang wanita yang diboncengnya, yang tak terlihat asing. Tanpa menyapa siapapun Asta langsung meninggalkan motornya menuju kelas dengan menggenggam tangan wanita tersebut.
“Wah siapa lagi cewek itu?” Desus teman-temannya
“Jadi Asta beneran putus sama Gia?” Desus lainnya

Asta memang seorang pangeran di kampusnya. Selain itu Ia juga jago basket, yang paling disukai mahasiswi-mahasiswi disana adalah sikap cuek Asta yang seolah tak mau tahu masalah orang lain, padahal kenyataannya ia begitu peduli jika telah mengenal seseorang begitu dekat, termasuk Gia yang pernah hadir dan mengisi hari-harinya beberapa bulan yang lalu sebelum kedatangan anak baru bernama Rangga yang dianggap sebagai penyebab renggangnya hubungan mereka.

Terlihat Asta tengah bosan menunggu seseorang di motornya, namun beberapa detik kemudian senyuman terlihat di wajah tampannya itu.
“Hmm… Menunggu itu menyebalkan tau,” ujar Asta saat seseorang yang ditunggunya muncul.
“Maaf… Tadi aku nunggu temen dulu.” jawab Riska.
“Iya iya, cepet naik panas nih.” ajak Asta sambil memakai helmnya.
“Jangan marah, kakak.” rengek Riska.
“Enggak, tapi temenin aku makan siang ya.”
“Siap, oppa!”
“Haish.. Mulai deh terkena virus korea.”
“Biarin, film korea itu romantis tau, kapan-kapan kita nonton korea bareng ya.”
“Hah?” Asta kaget, “Aku gak punya waktu buat nonton” lanjutnya
“Huuu… Gak seru ah…” Ucap Riska manja.

Saat itu Gia menatap kepergian Asta dengan Riska dengan tatapan berbeda, mungkin cemburu, marah atau mungkin juga biasa saja. Namun seseorang mengagetkannya.
“Ngapain bengong disini gi?” Tanya Rangga penasaran.
“Hmm… gak, siapa yang bengong, aku lagi mikir takut ada yang ketinggalan di kelas” jawab Gia.
“Oh… jalan yuk…” Ajak Rangga.
“Kemana lagi? Jalan terus.” Ujar Gia.
“Hmm… tempat yang enakin lah, yuk?” Rangga sedikit memaksa.
“Kita tuh banyak tugas Rangga, kamu mikirinnya jalan terus deh. Gimana kalau kita belajar bareng aja?”
“Haaahh… Gia, kita itu butuh refreshing jangan belajar mulu lah, stress jadinya. Mendingan kamu temenin aku jalan aja ya.”

Tanpa menunggu persetujuan Gia, Rangga segera menarik tangan Gia dan pergi. Gia memang takkan bisa menolak, karena rangga memang seorang yang lebih menyenangkan dibanding Asta yang begitu cuek. Dengan sekejap saja Rangga mampu menarik perhatian seorang Gia yang tak mudah untuk ditaklukan. Dan lama kelamaan Rangga pun mampu merubah Gia hingga seorang Asta seakan tak pernah dikenalnya. Itu yang membuat Asta merasa sakit dan terluka saat ini. Sebelum kedatangan Rangga mereka bisa pergi kemanapun, tertawa bercanda semua begitu menyenangkan, saling memberi perhatian dan tentunya saling menyayangi, memang antara mereka tak ada status pacaran namun perasaan keduanya cukup meyakinkan untuk disebut pacaran. Kini setelah kedatangan Rangga semua berubah dalam sekejap. Ya perasaan seseorang memang bisa berubah kapanpun.

Sore itu langit begitu gelap seakan tak kuasa lagi membendung tangisnya. Tak lama kemudian gerimis pun berjatuhan, orang-orang berlarian mencari tempat untuk berteduh namun asta masih tegap walau gerimis mulai menyerbunya. Ia bertengadah memandangi gelapnya langit dan membuka telapak tangannya membiarkan gerimis membasahinya.
“Hei, jelek hujan cepet berteduh!” ajak Asta.
“Aku suka hujan, kamu aja sana berteduh,” jawab Gia yang membiarkan dirinya basah kuyup.
“Hei, nanti kamu sakit, ayo berteduh!”
“Dia sahabatku, jadi dia takkan membuatku sakit.”

Kenangan beberapa bulan yang lalu tiba-tiba muncul di pikiran Asta, ia dengan Gia yang kini seakan tak pernah ditemuinya, setiap hari bisa ia lihat namun tak pernah lagi bisa ia sentuh. Saat itu senyuman terlihat di wajah Asta yang masih menikmati gerimis sore itu.
“Kau sahabatnya, apa dia sekarang bersamamu walaupun itu di tempat berbeda, apa dia saat ini bahagia dengan kedatanganmu. Jika dia bersamamu saat ini, katakan aku begitu ingin membencinya, aku selalu berusaha membencinya, namun aku tak pernah bisa melakukannya.” Ucap Asta saat gerimis mulai membasahi seluruh wajahnya.

Asta masih mengharapkan Gia, semua kenangan bersama Gia kini bermunculan di setiap waktunya. Merasa sakit jika melihat Gia dan Rangga tertawa bersama, ingin sekali ia memukul wajah Rangga lalu membawa lari Gia. Namun, bagaimana jika Gia tiba-tiba menepiskan tangan yang menggenggam dan membawanya lari, lalu kembali pada Rangga. Ya, mungkin itulah pembuktian yang sebenarnya yang akan lebih menghancurkan perasaan Asta.

Waktu istirahat itu Asta berpapasan dengan Gia yang di sampingnya terdapat Rangga, ketika pertemuan itu hendak berlalu tiba-tiba Asta memegang tangan Gia cukup erat dan Gia pun menghentikan langkahnya tanpa berbalik, keduanya diam untuk beberapa saat. Asta tak berbicara ataupun melepaskan tangan Gia. Begitupun Gia, ia pun diam seribu bahasa.
“Kemana kamu selama ini?” Tanya Asta datar.
“Aku ada, kamu yang kemana?” Gia membalikkan pertanyaan Asta.
“Hmm? Siapa dia? Apa dia yang membuat kamu berubah sejauh ini?” Asta bertanya dengan begitu sinis.
“Dia tidak merubahku, dia orang yang begitu mengertiku.”
Asta menarik tangannya dan mendorongnya membentur dinding, Membuat Gia begitu takut.
“Kamu berubah sejauh ini Gia, sejak kapan kamu jadi cewek yang menyakiti perasaan orang hah? Sejak kapan dia mempengaruhi kamu jadi seperti ini, kamu benar-benar berubah sekarang, aku gak pernah menyangka cewek yang aku kira baik dengan begitu mudahnya bersikap seperti ini, kalau aku boleh bilang kamu itu lebih pantes dibilang cewek gampangan.”
Rangga menarik Asta dari belakang dan memukulnya, namun Asta balas memukulnya sampai Rangga tersungkur ke lantai. Gia hendak menolongnya namun tangan Asta menghentikannya.
“Tinggalkan dia, mulai sekarang jangan dekati dia lagi kalau kamu gak ingin dia kenapa-napa” ucap Asta memegang tangannya begitu kuat.
“Kamu yang seharusnya tinggalkan aku, Ta. Bukankah Riska udah jadi milik kamu sekarang?”
Asta kaget “Aku sama sekali gak menyukai Riska, aku mendekatinya supaya kamu berubah kaya dulu Gi, aku sayang sama kamu, aku gak suka kamu yang sekarang, aku rindu kamu yang dulu, aku ingin kita kaya dulu”
Namun jawaban yang didapat Asta cukup menghancurkan hatinya, Gia menepiskan tangan yang menggenggamnya dan membawa rangga pergi. Asta hanya terdiam tak percaya dengan yang baru saja ia saksikan.

Waktu istirahat beberapa hari kemudian Asta tengah menghisap rokoknya kuat-kuat di kantin bersama yang lainnya. Kini Asta lebih terlihat acak-acakan, bahkan ia pun mulai senang merokok. Padahal dulu ia yang sering berkata bahwa rokok adalah hal yang paling ia benci. Namun sekarang ia menjilat liurnya sendiri.

Plakk Riska tiba-tiba datang dan menamparnya kuat.
“Kamu pikir aku mainan, kamu pikir aku seperti cewek lainnya yang mau untuk dijadikan pelampiasan. Aku pikir kamu serius sama aku Ta, ternyata kamu emang bener-bener gak punya perasaan, brengsek kamu!”
Setelah mengatakan itu Riska segera pergi. Asta hanya memegang pipinya yang kena tampar. Dan teman-temannya masih tak percaya seorang Asta saputra mendapat tamparan dari seorang cewek.

Saat hendak kembali ke kelas kini ia kembali berpapasan dengan Gia, kali ini ia benar-benar tak ingin mengenal Gia, kali ini ia benar-benar ingin melupakan semua hal tentang Gia. Ia menatap lurus seiring dengan langkahnya yang tegap, kali ini takkan ada tangan yang berusaha menghentikan Gia. Keduanya lewat begitu saja, seolah tak pernah bertemu sebelumnya.

Siang itu ia tengah berdiri di halaman kampus yang sering ia gunakan buat nongkrong bersama teman-temannya. Namun kali ini ia sendiri seperti tengah menunggu seseorang. Dan memang ia menunggu seseorang, Gia tepatnya. Beberapa menit kemudian Gia pun datang, karena Asta yang memintanya.
“Ada apa?” Tanya Gia dari belakang dengan nada sinis.

Asta pun berbalik, angin saat itu menyapu rambutnya dan sedikit membuka jas yang selalu dikenakannya, kedua tangannya tetap santai tersimpan di saku celana. Tubuhnya yang tegap tak pernah sedikitpun menghilangkan pesonanya. Dan kali ini pun tidak ada tatapan penuh amarah di matanya, yang ada hanya tatapan tenang menyejukan. Saat itu mungkin Gia kembali terpesona oleh Asta, karena sejak Asta berbalik ia begitu terpaku menatapnya. Asta melangkahkan kakinya mendekati Gia, namun ia berhenti tepat 2 meter dari Gia.
“Maaf,” kata Asta tiba-tiba.
"...." Gia masih terdiam.
“Maaf, untuk semua hal yang aku lakukan selama kita dekat atau pun jauh, terutama aku minta maaf atas sikap kasarku beberapa hari yang lalu. Sekarang aku tidak akan memaksamu untuk kembali seperti yang aku inginkan. Sekarang terserah, kebahagiaanmu kamu yang tentukan, aku tidak akan lagi ikut campur dalam kehidupanmu. Kini kamu telah menemukan kebahagiaanmu, kamu telah menemukan tempat bersandar seperti yang kamu inginkan, kamu telah menemukannya, Rangga. Dia orang yang tepat untukmu. Dan mulai sekarang aku akan berusaha membuang kenangan sebelum Rangga datang merubah semuanya. Aku akan terus berusaha membuangnya.” Asta berkata dengan begitu santai.
Tak ada satu kata pun keluar dari mulut gia saat itu.
“Kamu, tak ada yang mau kamu katakan padaku?” Tanya asta kemudian.
Asta menarik nafas dan mulai berjalan melewati Gia yang masih tediam. Lalu Asta menghentikan langkahnya tetap membelakangi Gia.
“Jaga dirimu baik-baik.” lalu Asta pergi meninggalkannya sendiri.
“Semua ini lebih sakit dari yang aku bayangkan, semua akan lebih sakit lagi saat semua kenangan bermunculan. Kebersamaan itu, senyum itu, tawa itu, canda itu, semua tentang mu kini semua hanyalah kenangan yang ingin segera aku lupakan. Mungkin ini saatnya aku harus melepaskan apa yang seharusnya aku lepaskan. Terimakasih Gia, terimakasih banyak.”
Ucapnya dalam hati menahan segala kepedihan di dalamnya.